Berikut
ini kami ketengahkan ke hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan
yang benar, berupa kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan
Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang
shohih.
Tulisan ini kami sarikan dari
pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan dengan
kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap
muslim dan muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Harapan
kami mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat
dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya Rabbal
‘Alamin.
1. Beberapa Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.
*
Tidak
boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud
berjaga-jaga jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari
itu sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa
sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan
kebiasaannya seperti puasa Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka
hal tersebut diperbolehkan.
Seluruh hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلًا كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan
kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali
seseorang yang biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka
(tetaplah) ia berpuasa.”
*
Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil yang nampak di awal bulan.
Dan
bulan Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam
hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan
Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tatkala
menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua tangannya seraya
berkata :
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ
عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ
ثَلَاثِيْنَ
“Bulan (itu) begini,
begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga
(yaitu sepuluh tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah
kalian karena kalian melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena
kalian melihatnya, kemudian apabila bulan tertutupi atas kalian maka
genapkanlah bulan itu tiga puluh.”
Maka untuk melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban setelah matahari terbenam.
Selang
beberapa saat bila hilal nampak maka telah masuk tanggal 1 Ramadhan dan
apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan Sya’ban digenapkan 30 hari
dan setelah tanggal 30 Sya’ban secara otomatis besoknya adalah tanggal 1
Ramadhan.
*
Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh negeri di dunia untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang bersandarkan kepada surat
Al-Baqaroh ayat 185 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan
juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat
Al-Bukhary dan Muslim yang tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah
kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan
apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Ayat
dan dua hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh
kaum muslimin di manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas
mereka untuk berpuasa tatkala ada dari kaum muslimin yang melihat hilal.
2. Niat Dalam Puasa
* Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya seluruh jenis ibadah lainnya sebagaimana
yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam dalam hadits ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَىَ
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Karena
itu hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat
ini yang menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang
muslim tatkala akan berpuasa hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh
dan bertekad untuk berpuasa ikhlash karena Allah Ta’ala.
* Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
*
Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak
malam harinya yaitu setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar
subuh.
* Dan
kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa
sunnah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
*
Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan
diharuskan berniat setiap malam menurut pendapat yang paling kuat.
Tiga
point terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh
radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan
hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”
*
Apabila telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu
belum diterima kecuali pada pertengahan hari, maka hendaknyalah
bersegera berpuasa sampai maghrib walaupun telah makan atau minum
sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho` atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
بَعَثَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا
مِنْ أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤْذِنَ فِي النَّاسِ
مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ
صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ
“Rasululllah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus seorang laki-laki
dari Aslam pada hari ‘Asyuro` (10 Muharram,-pent.) dengan
memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia siapa yang belum
berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan maka
hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”
3. Waktu Pelaksanaan Puasa
Waktu
puasa bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari
terbenam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan dan
minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
4. Makan Sahur
* Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama. Hal
itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat
berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam
hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”
Bahkan
beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam
yang sangat agung yang membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi
dan nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu
‘anhu riwayat Muslim :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحْرِ
“Pembeda antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”
* Dan juga disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh,
sebagaimana Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
memulai makan sahur dalam selang waktu membaca 50 ayat yang tidak
panjang dan tidak pula pendek sampai waktu adzan sholat subuh. Hal
tersebut dinyatakan dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
تَسَحَّرْنَا
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ
قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قُلْتُ : كَمْ كَانَ قُدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟
قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami
bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
kemudian kami berdiri untuk sholat. Saya berkata (Anas bin Malik yang
meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak antara keduanya (antara
sahur dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”
* Dan dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan sahur secara bersama.
* Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma.
Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu
Dawud dengan sanad yang shohih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam bersabda :
نِعْمَ سَحُوْرُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik sahur seorang mu’min adalah korma.”
*
Batas akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah
masuk adzan subuh maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari ayat dalam surah Al Baqoroh ayat 187 :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan dan
minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
*
Apabila telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang
makan atau minum maka hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa
Al-Lajnah Ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullah, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dan beberapa ulama
lainnya berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila
salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada
di tangannya maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan
hajatnya (dari bejana tersebut).”
Hadits
ini adalah hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu
Hatim. Baca Al-‘Ilal 1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol.
02 rubrik Hadits.
Dan andaikata hadits ini
shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhohir-nya tapi harus
dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunanul
Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan dari hadits adalah ia boleh minum
apabila diketahui bahwa si muadzin mengumandangkan adzan sebelum
terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut kebanyakan para ‘ulama.
Wallahu A’lam.
* Apabila
seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka
diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah
masuk.
Hal ini berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan dan
minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Ayat
ini memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka
harus berhenti dari makan dan minum, adapun kalau belum jelas nampak
seperti yang terjadi pada orang yang ragu di atas masih boleh makan dan
minum.
5. Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa
* Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan hubungan seksual. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan dan
minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan dalam hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ
لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap
amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai
tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa,
sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan
pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan
makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
* Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.
* Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.
Dua point di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di atas,
dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits Abu Huroiroh
radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka
Allah tidak ada hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan
dan minumnya"
Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ, إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَفَثِ
“Bukanlah
puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu
hanyalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
* Meninggalkan puasa wishol.
Puasa wishol artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka.
Puasa wishol adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menurut pendapat yang paling
kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الْوِصَالِ قَالُوْا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ : إِنِّيْ لَسْتُ مِثْلَكُمْ
إِنِّيْ أُطْعَمُ وَأُسْقَى
“Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari puasa wishol,
maka para sahabat berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan wishol?”.
Beliau menjawab : “Sesungguhnya saya tidak seperti kalian saya diberi
(kekuatan) makan dan minum.”
6. Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh Baginya Untuk Berpuasa.
* Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.
Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلََيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ
يُدْرِكُهُ الْفَجْرُوَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ
وَيَصُوْمُ
“Sesungguhnya
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang
dijumpai oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari
istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak
ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan.
Demikian pula wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit
fajar akan tetapi dia belum sempat mandi takut kesiangan dia juga boleh
berpuasa menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama
berdasarkan hadits di atas.
*
Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan
sunnah, apakah menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.
* Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi,
tetapi dengan menjaga jangan sampai menelan sesuatu ke dalam
kerongkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi yang mempunyai
pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.
Dua
point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan
disunnahkannya bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صُلَاةٍ
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat.”
Dan dalam riwayat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
َوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak bersama setiap wudhu`.”
Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam keadaan berpuasa atau tidak.
* Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`,
dengan ketentuan tidak terlalu dalam dan berlebihan sehingga
mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak ada larangan
untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak
menelan air ke kerongkongan. Seluruh hal ini berdasarkan hadits shohih
dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud,
At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.”
Dan
hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur
dan menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa
membedakan dalam keadaan berpuasa atau tidak.
*
Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang
sepanjang ia menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.
* Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.
* Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya. Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ
وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ كَانَ
أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Adalah
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam keadaan
berpuasa dan memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang
paling mampu menguasai syahwatnya.”
* Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.
* Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.
* Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan dan kembali mengeluarkannya. Hal
ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh
jalan-jalannya :
لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الصَّائِمُ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ الَّذِيْ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ مَالَمْ يُدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi
cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang tidak masuk ke dalam
tenggorokannya.”
*
Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan
minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan
lain-lainnya.
Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.
7. Hal-Hal Yang Makruh Bagi Orang Yang Berpuasa
* Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan anggota tubuh lainnya) adalah makruh karena
bisa mengakibatkan tubuh menjadi lemas dan menyeret orang berbekam
untuk berbuka. Demikian pula halnya yang semakna dengan ini adalah
memberikan donor darah.
Hukum ini merupakan bentuk kompromi dari dua hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, yaitu antara hadits mutawatir yang di dalamnya beliau menyatakan :
أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ
“Telah berbuka orang yang berbekam dan orang yang membekamnya.”
Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary :
احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbekam dan beliau dalam keadaan berpuasa.”
* Memeluk dan mencium istrinya hingga membangkitkan syahwatnya.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :
أَنَّ
رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْمَبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ
فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِيْ رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِيْ
نَهَاهُ شَابٌّ
“Sesungguhnya
seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam tentang berpelukan/bersentuhan bagi orang yang berpuasa maka
beliau memberikan keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut)
dan datang laki-laki lain bertanya kepadanya dan beliaupun melarangnya
(untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang diberikan keringanan
padanya adalah orang yang sudah tua dan yang dilarang adalah seseorang
yang masih muda.”
* Menyambung puasa dari maghrib sampai waktu sahur (puasa wishol)
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا تُوَاصِلُوْا فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحْرَ
“Janganlah kalian puasa wishol, siapa yang menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur.”
8. Pembatal-Pembatal Puasa.
*
Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun
kalau seseorang melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah
membatalkan puasanya.
Hal ini adalah perkara
diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin
berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi
kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ
لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap
amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai
tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa,
sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan
pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan
makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Siapa
saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum,
maka hendaknyalah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia
hanyalah diberi makan dan minum oleh Allah.”
Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka batallah puasanya.
* Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk dalam makna makan dan minum.
* Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.
Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.
* Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan.
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa
yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya
untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya
(muntah denga tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
* Haid dan nifas.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah
hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk
meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
* Bersetubuh.
Dalilnya akan disebutkan kemudian insya Allah.
9. Berbuka Puasa.
* Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam dan malampun menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu : dalam
ثُمَّ أَتمُِّوْا الصِّيَامَ إِلَى اْللِيْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Dan
diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah
hadits Umar bin Khaththab riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنُ هَاهُنِا وَأَدْبَرَ مِنْ هَاهُنَا وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَائِمُ
“Apabila
malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah
terbenam maka orang yang berpuasa telah waktunya berbuka.”
* Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa waktunya telah masuk,
karena manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka
mempercepat berbuka puasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idy
Radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari dan Muslim :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ
“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.”
Bahkan
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka
puasa sebagai salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana
dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad, Abu Daud
dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan, beliau menegaskan :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِراً مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ, لِأَنَّ اْليَهُوْدَ وَاْلنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Terus-menerus
agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa
karena orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”
*
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbuka puasa
sebelum sholat Maghrib dengan memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal
dan hampir matang) dan apabila beliau tidak menemukan ruthob maka beliau
berbuka dengan korma (matang) jika tidak menemukan korma maka beliau
berbuka dengan beberapa teguk air.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwayat Abu Dawud dengan sanad hasan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ
عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتُ
فَعَلَى ثَمَراتٍ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Adalah
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berbuka dengan
beberapa biji ruthob sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka
dengan beberapa korma,dan kalau tidak ada korma maka dengan beberapa
teguk air.
* Dan
disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan
salah satu tempat mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam
hadits yang shohih dari seluruh jalan-jalannya.
*
Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang
besar apabila seseorang memberikan makanan buka puasa pada saudaranya
yang berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu ‘Anhu riwayat Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ إِلاَّ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أًجْرِ الصَّائِمِ شَيءٌ
“Siapa
yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka
baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa
mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”
10. Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa
* Musafir
Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia
tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dan
suatu hal yang kita ketahui bersama bahwa perjalanan safar kadang
merupakan perjalanan meletihkan dan kadang perjalanan yang tidak
meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang paling utama bagi
sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah
Radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ فِيْ
سَفَرٍفَرَأَى رَجُلاً قَدْ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَقَدْ ظُلِّلَ
عَلَيْهِ فَقَالَ: مَالَهُ قَالُوْا: رَجُلٌ صَائِمٌ فَقَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَ اْلبِرِّ
أَنْ تَصُوْمَ فِيْ السَّفَرِ
“Adalah
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam
perjalanannya dan beliau melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh
manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada apa
dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,”
maka Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”
Kendati
demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam
perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syari’at bagi
orang yang mampu untuk berpuasa walaupun dalam perjalanan yang
meletihkan.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik,
Asy-Syafi’I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih
dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam, beliau berkata :
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ النَّاسَ فِيْ
سَفَرِهِ عَامَ الْفَتْحِ بِاْلفِطْرِ وَقَالَ تَقَوُّوْا لِعَدُوِّكُمْ
وَصَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ قَالَ الَّذِيْ حَدَّثَنِيْ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ بِاْلعَرْجِ يُصِبُ
عَلَى رَأسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ اْلعَطْشِ أَوْمِنْ الْحَرِّ
“Saya
melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
memerintahkan manusia untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau
pada tahun penaklukan Makkah dan beliau berkata :“Persiapkanlah kekuatan
kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah Shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin
‘Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku
bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air diatas kepalanya dan beliau
dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena kepanasan.”
Dan juga dalam hadits Abu Darda’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :
خَرَجْنَا
مَعَ رَسَوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ فِيْ
شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْ حَرٍّ شَدِيْدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا
لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحِرِّ وَمَا فِيْنَا
صَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ
وَسَلَّمَ عَبْدُاللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Kami
keluar bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
di bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah
seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas
yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan Abdullah bin
Rawahah.”
Adapun dalam
perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari
berbuka menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama.
Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah Shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada
hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban
secepat mungkin adalah lebih bagus untukmengangkat kewajibannya, karena
itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol
baginya untuk berpuasa.
* Orang yang sakit.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqaroh ayat 184 :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia
tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
* Wanita haid atau nifas
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصِلِّ وَلَمْ تُصَمْ
“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”
Dan
wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan
wanita haid, hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu ‘Anha
riwayat Imam Al-Bukhary :
بَيْنَمَا
أَنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ
مُضْطَجِعَةٌ فِيْ قَمِيْصَةِ إِذْ حَضَتْ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ
ثِيَابَ حَيْضِيْ فَقَالَ أَنَفِسْتِ فَقُلْتُ نَعَمْ فَدَعَانِيْ
فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِيْ الْخَمِيْلَةِ
“Tatkala
saya berbaring bersama Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
di dalam sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu
saya mengambil pakaian haidku maka beliau bersabda: “apakah kamu nifas,”
maka saya menjawab : “Ya.” Lalu beliau memanggilku lalu sayapun
berbaring bersamanya diatas permadani.”
Pertanyaan
beliau : “Apakah kamu nifas” padahal Ummu Salamah ketika itu menjalani
haid bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menunjukkan bahwa haid
dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.
* Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa
*
Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif
kepada kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri
apabila ia berpuasa.
Dua point diatas
berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan
lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala
dalam surat Al-Baqarah 184.
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامٌ مِسْكِيْنِ
Berkata Ibnu ‘Abbas :
رَخَّصَ
لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلعَجُوْزِ اْلكَبِيْرَةِ فِيْ ذَلِكَ وَهُمَا
يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءا أَوْيُطْعِمَا كُلَّ
يَوْمٍ مِسْكِيْناً وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِيْ
هَذِهِ اْلآيَةِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَثَبَتَ
لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلعَجُوْزُ الْكَبِيْرَةِ إِذَا كَانَا لاَ
يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا
أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنٍَا
“Diberikan
keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk
tidak berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa,
(diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau
memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas
mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam
ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka
hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi laki-laki
dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita
hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan
kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh
untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)
11. Meng-qodho` (mengganti) Puasa.
* Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beberapa orang :
1. Musafir.
2. Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.
Yaitu sakit yang menurut para ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.
Dua point di atas berdasarkan firman Allah Ta’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
* Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau menyatakan :
كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah
hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk
meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wanita haidh sebagaimana yang telah dijelaskan.
* Muntah dengan Sengaja
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa
yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya
untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya
(muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)
* Makan dan Minum Dengan Sengaja.
Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada hari yang ia tinggalkan.
Hal
ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan
penuh maka jika ia luput sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak
dianggap berpuasa satu bulan penuh.[1]
Tidak ada qodho` atas selain orang-orang tersebut diatas.
* Waktu Untuk meng-qodho`
Waktu
untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan
Sya’ban sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim
dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
كَانَ
يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ
أَقْضِيَهُ إِلَّا فِيْ شَعْبَانَ الشُّغْلَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
“Kadang
ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat
meng-qadho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah.
Hal ini berdasarkan hukum umum dalam firman Allah Ta’ala :
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Firman-Nya
“pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara
berturut-turut atau secara terpisah. Dan tentunya tidaklah diragukan
bahwa mempercepat dalam meng-qodho` puasa adalah perkara sangat yang
afdhol (lebih utama).
Hal ini berdasarkan keumuman
perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh
berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firman Allah Ta’ala
:
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)
Barangsiapa
yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan
berikutnya, padahal sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya
untuk meng-qodho` puasanya, maka ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pernyataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
كَانَ
يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ
أَقْضِيَهُ إِلَّا فِيْ شَعْبَانَ الشُّغْلَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
“Kadang
ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat
meng-qodho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Hal
ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan
setelah Sya’ban, sebab andaikata hal tersebut boleh, niscaya ‘Aisyah
akan mengakhirkan qadho`nya setelah Ramadhan karena mungkin saja dibulan
Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama
salaf dan khalaf bahkan ada dinukil kesepakatan dikalangan ulama akan
tidak bolehnya mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.
Adapun
jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya
karena udzur yang terus menerus menahannya seperti orang yang musafir
terus menerus, perempuan yang masa kehamilannya rapat/dekat dan
lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah mengganti
puasanya kapan ia mampu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Bagi
orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada
bulan Ramadhan padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk
meng-qodho` puasanya, maka wajib atas ahli warisnya untuk membayar
tunggakannya.
Hal ini berdasarkan hadits
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.”
Adapun
kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk
meng-qodho` puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga
tidak ada kewajiban atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
12. Ketentuan Membayar Fidyah.
Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:
* Laki-laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa.
* Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan kandungannya, anak yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud, Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu Abbas :
رَخَّصَ
لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَالْعَجُوْزِ الْكَبِيْرَةِ فِيْ ذَلِكَ وَهُمَا
يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءَا أَوْ يُطْعِمَا كَلَّ
يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِيْ
هَذِهِ الْآيَةِ فَمْنَ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَثَبَتَ
لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَالْعَجُوْزِ الْكَبِيْرَةِ إِذَا كَانَا لَا
يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا
أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا
“Diberikan
keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk
tidak berpuasa,-pent.) sementara keduanya mampu untuk berpuasa,
(diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau
memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho` atas
mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam
ayat ini {Barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka
hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi
laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi
wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan memberikan
bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya
sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap
hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)
* Orang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.
Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Nasa`i dengan sanad yang shahih dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
لَا يُرَخَّصُ فِيْ هَذَا إِلَّا لِلَّذِيْ لَا يُطِيْقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيْضٌ لَا يُشْفَى
“Tidak
diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar
fidyah) kecuali pada orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada
orang sakit yang tidak bisa sembuh.”
*
Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin
sejumlah hari yang telah ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak
berpuasa 15 hari maka ia memberi makan 15 orang miskin.
* Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.
*
Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan.
Maka dengan ini kami tegaskan bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.
*
Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis
makanan. Jadi kapan suatu makanan dianggap sebagai makanan menurut
kebiasaan manusia di suatu tempat maka hal tersebut telah dianggap
syah/cukup untuk membayar fidyah.
*
Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga
ini juga kembali kepada kebiasaan orang banyak di suatu tempat atau
negeri.
* Namun tidak
diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling
baik dan berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ
مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
13. Membayar Kaffarah.
Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran:
Melakukan hubungan suami istri. Melakukannya di siang hari Ramadhan.
*
Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan,
seperti pada saat ia membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah
dikenakan atasnya kaffarah.
*
Dalam keadaan berpuasa. Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan
ia dalam keadaan tidak berpuasa seperti seorang yang kembali dari
perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati istrinya usai
mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka keadaan
seperti ini tidak dikenakan kaffarah.
*
Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa
dikenakan kaffarah atas sang istri jika ia mengaja atau taat pada
suaminya dengan kemauannya sendiri untuk melakukan hubungan intim.
*
Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari
tiga jenis kaffarah berikut ini secara berurut sesuai kemampuannya :
1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim menurut pendapat yang paling kuat.
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus.
Dan jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini jangan terputus dengan
bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang berpuasa padanya yaitu hari
‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia berpuasa
kurang dari dua bulan maka belumlah dianggap membayar kaffarah.
3. Memberi makan 60 orang miskin
dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam kebiasaan kebanyakan
manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud yaitu
sebanyak dua telapak tangan orang biasa.
* Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.
* Apabila
tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di
atas maka kewajiban membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas
pundaknya sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayarnya.
Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ, قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ ؟ قَالَ :
وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِيْ فِيْ رَمَضَانَ (وَأَنَا صَائِمٌ) قَالَ هَلْ
تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ
تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا
تُطْعِمُ سَتِّيْنَ مِسْكِيْنًا قَالَ لَا قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِيَ
النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ
تَمْرٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهَاذَا قَالَ أَفْقَرُ مِنَّا ؟ فَمَا بَيْنَ
لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ
ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.
“Seorang
lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
lalu berkata : “Saya telah binasa wahai Rasulullah, beliau berkata :
“Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata : “Saya telah menggauli
(hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya
sedang berpuasa}[2].” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu
membebaskan budak ?” , ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah
kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, ia berkata : “Tidak.”,
beliau bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh
orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.” Lalu iapun duduk. Kemudian
dibawakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu
‘araq (tempat yang sekurang-kurangnya dapat memuat 60 mud,-pent.) berisi
korma, maka beliau berkata kepadanya : “Bershadaqahlah engkau dengan
ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih fakir dari
kami?, tidak ada antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari
kami.” Maka tertawalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau berkata :
“Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.”
14. Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.
* Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab. Hal
ini tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak
belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam.
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam surat Al-Baqaroh ayat 185 :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah
kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan
apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Dalam
ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya
Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak
dikaitkan dengan menghitung, menghisab dan yang lainnya.
* Mempercepat makan sahur. Hal
ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana
yang telah berlalu penjelasannya.
* Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur. Sering
terdengar di bulan Ramadhan tanda-tanda imsak seperti suara sirine,
suara rekaman ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang
diperdengarkan sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini
merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak
belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan dan
minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin ‘Umar riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan kedua yaitu adzan untuk sholat subuh. Inilah
seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin yaitu menjadikan waktu
adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan meninggalkan tanda
imsak yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
* Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur. Dan
in juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak
dikhususkan pada makan sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya
matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Dan melafadzkan niat juga perkara baru dalam agama ini yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
dan para sahabatnya.
* Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu. Ini
juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin.
Mereka menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup air merupakan
pembatal puasa padahal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan
perkara yang disunnahkan dalam syari’at Islam sebagaimana yang telah
dijelaskan.
* Anggapan tidak bolehnya menelan ludah. Hal
ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin sehingga kita kadang
mendapati sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa.
Tidakkah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan
memberatkan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam
syari’at Islam.
* Mengakhirkan buka puasa. Ini
juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin padahal
tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
sangatlah jelas akan sunnahnya mempercepat buka puasa sebagaimana yang
telah kami jelaskan.
* Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
* Perasaan ragu mencicipi makanan,
padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga jangan sampai
menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.
* Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.
* Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti
wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu
ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan.
Tentunya ini adalah perkara yang salah karena kewajiban membayar fidyah
dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.
Demikian
tuntunan ringkas ini, mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua
dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu
Ta’ala A’lam
[1] Demikian
pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami
memandang bahwa pendapat yang kuat adalah tidak bisa di-qodho`.
Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam rangkaian buku khusus
berkaitan dengan tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul
Muwaffiq.
[2] Tambahan dalam riwayat Al-Bukhary.
Sumber : Ebook Majalah An-Nashihah Vol. 7 (1425/2008)